Manusia sejatinya hidup abadi karena semua manusia adalah warga asli surga, yang kemudian disuruh Tuhan untuk mampir sejenak di bumi. Bagi Cak Nun, hidup di bumi hanyalah “outbond”, wisata sejenak, karena kampung halaman kita sesungguhnya ada di surga. Perjalanan hidup di bumi, ibarat pergi ke pasar mencari bahan mentah terbaik untuk di bawa pulang ke rumah yang bernama surga.
Sore itu, Jumat (10/2), Emha Ainun Nadjib atau karib disapa Cak Nun hadir di hadapan para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara Sarasehan Pustaka yang bertajuk Gelandangan di Kampung Sendiri. Kehadiran Cak Nun menjadi oase segar dalam rutinitas yang penuh sesak dengan isu-isu berat seputar korupsi, operasi tangkap tangan, sidang tipikor, demo antikorupsi, serta riuh pemberitaan media. Di sini Cak Nun datang membawa segudang kisah-kisah "dramatis" seorang gelandangan.
Acara Sarasehan Pustaka ini dimoderasi oleh Nanang Farid Syam dengan muqaddimah-nya bahwa hidup ini ibaratsawang-sinawang, sebuah pepatah Jawa yang artinya, hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat. Namun dalam kaca mata Cak Nun, hidup bisa lebih dari sekedar sawang-sinawang. Kaitannya dengan buku Cak Nun yang berjudul Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran - memahami kisah-kisah yang tertulis dalam buku tersebut, membutuhkan konsep yang lebih luas dan mendalam dari sekedar keluhan dan pengaduan orang-orang pinggiran. Karena bisa jadi, pengaduan mereka itu tak lain adalah singkapan kegelisahan dari perjalanan panjang hidup kita di atas tanah nusantara ini.
Musabab Gelandangan
Maka, Cak Nun memulai perbincangannya dengan memutar dan membalik dimensi waktu dalam setting ribuan atau jutaan tahun silam, di saat Adam berbincang dengan iblis di surga. Ketika itu, iblis yang sudah sangat nyaman menjadi penghuni surga merasa terusik dengan hadirnya manusia bernama Adam. Iblis tahu betul bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah di bumi, lalu kenapa Adam ditempatkan di surga? Iblis pun mengatur siasat dan muncullah apa yang disebut dengan talbis. Talbis adalah perangkap yang iblis susun sedemikian rupa, membungkus kebatilan dengan rupa kebenaran. Iblis mencitrakan dirinya laksana malaikat yang menghembuskan tutur kebajikan, tapi di dalamnya tersimpan kebusukan. Singkat cerita, Adam terperdaya talbis. Adam, bersama Hawa terbuang dari surga dan hidup menggelandang di muka bumi. Karena itulah, mungkin, manusia hakekatnya adalah gelandangan sejak zaman purba, sebagai warisan kakek Adam akibat terkena tipuan talbis.
Dalam konteks kekinian, cara yang paling mudah memahami politik, kekuasaan, dan konstelasi di Indonesia adalah talbis. Bisa jadi Indonesia sudah memasuki zaman itu. Dimana banyak manusia membanggakan “tipuan” ini, yang notabene telah merasuk ke dalam alam pikir dan pola laku manusia. Talbis, yang awalnya adalah jubah yang Iblis pakai untuk memperdaya Adam, kini telah dirampas dan dipakai oleh banyak manusia di Indonesia yang kelihatannya tampak bersih, baik, santun tapi jiwanya telah tergadaikan dan penuh kebusukan. Sekilas seperti malaikat, sangat baik tapi ternyata iblis. Sulit diidentifikasi tipologi manusia seperti ini. Talbis telah dipergunakan secara masal oleh banyak manusia untuk memperdaya sesama manusia.
Cak Nun menambahkan, "Saya datang ke sini membawa satu harapan kepada pegawai-pegawai KPK sebagai generasi muda yang akan membangkitkan Indonesia. Ini yang oleh Tuhan, akan dicintai dan mencintai Tuhannya. Yang akan menggantikan seluruh penguasa Indonesia yang kacau balau. Dan yang akan memimpin Indonesia dengan cara yang lebih baik, dengan moral yang lebih baik. Saya mau ke sini karena akan menemukan orang yang disebut dalam QS. al Maidah:54. Tuhan bilang kalau mereka murtad, maka akan Tuhan datangkan kaum yang baru, dimana Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Dia. Tuhan memberi dua sifat yakni adzillah 'alal mu'miniin dan a'izzah 'alal kaafiriin, serta tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela."
Inilah perspektif yang Cak Nun tawarkan dalam memahami rupa Indonesia, walaupun tidak ada jaminan bahwa apa yang disampaikannya mampu menyelesaikan persoalan Indonesia. Karena Cak Nun sendiri sudah kehilangan cara untuk betul-betul memahami Indonesia. Tingkat kebusukan yang menggerogoti bangsa ini sudah sampai puncaknya, tapi anehnya sebagian besar kita merasa tidak ada masalah dengan bangsa ini.
Gelandangan yang Antikorupsi
Tahap pencarian Cak Nun dalam membolak-balik perspektif guna memahami Indonesia, akhirnya bermuara pada dirinya sendiri. Memahami Indonesia, Cak Nun menjadikan dirinya sebagai gelandangan. Sejak kecil, sewaktu masih kelas 4 SD Cak Nun sudah melakukan tirakat, tidak makan nasi dan hanya makan gaplek, sayur kangkung dan air putih selama 2 tahun. Kebiasaan tirakat itulah yang menjadikannya sebagai "gelandangan" yang tidak mudah dikalahkan oleh kesenangan dunia, godaan materi, kekuasaan maupun popularitas.
Pernah suatu waktu, Cak Nun diberi cek senilai miliaran rupiah oleh seorang pengusaha yang ingin membeli pulau di Kepulauan Seribu. Cak Nun yang kala itu dekat dengan Presiden Gus Dur diminta untuk membantu perijinan supaya keinginan pengusaha itu bisa disetujui Gus Dur. Sesaat Cak Nun termenung, membayangkan uang miliaran yang mungkin bisa digunakan untuk mendirikan sekolah, membeli rumah, mobil dan lain-lain. Tapi, tak lama kemudian Cak Nun merobek-robek cek tersebut. Dalam batinnya Cak Nun berucap, "Saya tidak akan kalah oleh kesenangan saya!"
Bagi Cak Nun, gelandangan adalah konsep diri. Ketika diri diletakkan dalam konstelasi universal, manusia bukanlah siapa-siapa. Karena Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Manusia tidak punya kekuatan, manusia tidak punya apa-apa. Karena semuanya adalah milik dan kehendak Tuhan. Laa hawla walaa quwwata walaa sulthaana illa billaah. Penambahan lafaz sulthaan, yang artinya wilayah kreativitas, wilayah dimana manusia bisa mengetahui yang seharusnya tidak diketahui. Hidup dengan menggelandang akan menghadirkan sulthaan, yang Tuhan selipkan ke dalam hati siapapun yang dihekendaki-Nya.
Cak Nun melanjutkan, bagaimana menyikapi ketidakberesan tata kelola pemerintahan di negeri ini? Guyonan-guyonan Cak Nun yang penuh gelak tawa, salah satunya Gus Dur yang tak pernah bisa diproses di pengadilan akherat, kenakalan-kenakalan Gus Dur ketika bertemu Soeharto – sindiran dimana bangsa ini telah terjangkit penyakit kanker kronis, hampir sulit diselamatkan. Sindiran bagi para politisi dan mereka yang memegang kekuasaan, hukum hanyalah guyonan saja yang telah tercabut supremasi dan substansi keadilannya.
Memperluas Skala Menjawab Persoalan
Di sesi tanya jawab, salah satu peserta sarasehan, Agung, menyampaikan manusia adalah sosok yang bebas, seperti halnya nabi Adam. Ketika berbuat keburukan itu berasal dari syetan, tapi tidak ada malaikat yang membujuk kebaikan kepada manusia. Fenomena pejabat melakukan korupsi miliaran rupiah, untuk apa dan apa yang dicari? Mereka terjebak gambaran semu tentang konsep kebahagiaan. Apakah tidak sebaiknya mereka diberi pencerahan?
Penanya kedua, tertarik dengan konsep Cak Nun, “saya tidak akan kalah dengan kesenangan-kesenangan saya”. Bagaimana tipsnya untuk bisa betul-betul menjaga itu? Karena manusia itu rapuh, sekuat-kuatnya kita ada saatnya kita kalah. Lalu, mensikapi mansia yang tidak pernah puas, apakah Cak Nun sepakat dengan pernyataan bahwa rezeki itu ya apa yang dimakan, apa yang ada?
Penanya ketiga, Guntur, menanyakan apakah sejarah bisa berubah – melihat perjalanan sejarah nusantara yang suka “antem-anteman” walaupun punya Tuhan sama dan ajaran yang sama? Sampai zaman sekarang ini polanya sama. Kira-kira, apakah ada masa naiknya atau tidak? Lalu pertanyaan kedua, apakah manusia mempengaruhi alam, ataukah alam mempengaruhi manusia? Gara-gara manusia, makanya banyak gempa bumi, banjir dan seterusnya, atau gara-gara itu manusia jadi ikutan? Pertanyaan ketiga, tentang talbis. Di zaman yang sudah akhir ini, talbis ini ada dimana? Apakah ia mengikuti yang dimusuhi pemerintah? Ataukah ada di mereka yang dirangkul pemerintah, atau golongan lain yang saat ini tiarap tiba-tiba jadi?
Cak Nun merentangkan benang merah guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jawaban atas pertanyaan, menentukan skalanya sampai berapa. Orang terlalu serius dengan hidup di dunia. Kebanyakan menganggap hidup itu hanya di dunia dan selesai setelah mati. Padahal, alladziina yu’minuuna bil ghaibi, yakni percaya dengan hal ghaib (termasuk percaya bahwa hidup itu abadi). Manusia sejatinya hidup abadi karena semua manusia adalah warga asli surga, yang kemudian disuruh Tuhan untuk mampir sejenak di bumi.
Cak Nun menambahkan untuk tadabbur QS. Al Fatehah - yang mengajarkan tentang cinta. Rahmaan sebagai cinta yang meluas. Rohiim, cinta yang mendalam. Manusia dihidupkan Tuhan karena cinta Rahmaan Rahiim-Nya. Tuhan menciptakan pasangan kita dengan cinta-Nya. Karena itu kita mencintai pasangan kita, dan mencintai Tuhan. Lalu kita bersyukur dengan berucap alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin. Dan berlanjut beribadah kepada-Nya, dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Tuhan berujar kepada Muhammad, “Katakan wahai Muhammad, kalau kalian cinta kepada-Ku dan menginginkan perjumpaan dengan-Ku, bertatapan wajah, dan Aku sapa dengan kasih sayang – maka berbuatlah baik.” Kita berbuat baik, misal menangkap koruptor, menangkap maling, dst – semua karena cinta. Dan puncaknya adalah, tetap berada di jalan yang lurus di tengah ketidakmenentuan bangsa ini.
Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Acara Sarasehan Pustaka diakhiri sesi pengumuman sayembara penulisan resensi buku. Salah satunya adalah buku Cak Nun berjudul Gelandangan di Kampung Sendiri. Tidak sedikit pula para peserta meminta tanda tangan Cak Nun di buku yang telah dibelinya pada awal rangkaian acara sore itu. Sarasehan pustaka kemudian ditutup dengan foto bersama